Berbeda dari anggapan banyak pengelola bisnis yang lebih menekankan pada kemampuan menjual, di bisnis property, umur panjang perusahaan lebih ditentukan oleh aspek konstruksi, bukan marketing. Bisa saja pengembang perumahan —umum disebut developer— melesat cepat, dikagumi, dan menikmati penjualan melimpah dari proyek yang dikelola, karena prestasi gemilang marketingnya yang jempolan. Tapi bisakah mereka membuat produk rumah bagus, berkualitas, dan mampu “berbicara”…?
Kebanyakan developer, meski tidak semuanya, hakekatnya berjualan gambar, menjual rencana bangun rumah. Yang tampak indah baru gambarnya, belum wujud asli bangunanannya. Sangat mungkin konsumen terpukau karena kemampuan promosi, dukungan media yang meluas, kemudahan cara bayar, atau karena program diskon yang memikat. Menjual produk berupa rumah dengan promosi yang gencar faktanya memang relatif gampang, tak rumit-rumit amat. Apalagi jika tenaga marketingnya pandai membujuk, meyakinkan, dan menggiring kosnsumen untuk bertransaksi.Prestasi menjual bagi developer barulah cerita permulaan. Rentang waktu 6 bulan sejak transaksi sampai serah terima bangunan, dianggap jeda waktu paling menentukan ending sebuah transaski. Berakhir baik sama senang atau berbuah petaka, justru.
Saya mencatat, setidaknya di Yogyakarta, bukan developer yang pintar berjualan yang masih bertahan hingga kini, justru mereka yang memperhatikan kualitas konstruksilah yang tetap diterima pasar, sekalipun dari sisi program marketingnya terhitung biasa-biasa saja. Perumahan Taman Kuantan di jl. Magelang km 07, Yogyakarta, salah satu contohnya. Diduga, kualitas bangunan rumah mereka yang berkategori baik, ber-efek positif pula bagi developernya.
Sebagai perbandingan, Konsumen, khususnya yang KPR, jika urusannya menyangkut legalitas nyata terlindungi karena faktor kontrol perbankan terhadap developer, sementara di urusan konstruksi konsumen face-to-face dengan developer tanpa ada kontrol dari pihak eksternal. Amat jarang ada kasus bank kecolongan soal legalitas yang buntutnya merugikan konsumen. Bisa dikatakan hampir mustahil bank mau membiayai KPR jika legalitasnya belum komplit, clear. Nah, di urusan kontruksi, sekalipun konsumen mengikatkan diri dalam Perjanjian Jual-beli yang detail aspek konstruksinya, tetap saja konsumen harus menunggu berbulan sampai bangunan rumah tersebut benar-benar terwujud. Pada ada titik inilah rawan terjadi kesalahan bahkan penyimpangan.
Kualitas bangunan rumah, berkaca dari pengalaman developer kampiun dan establish dari masa ke masa, tidak saja dipengaruhi faktor penggunaan mutu bahan material saja; keramik berkelas mahal, kayu rangka pilihan, genteng berglasur, kusen dan daun pintu jati, melainkan ditentukan pula faktor pekerjaan yang terencana, standart kualitas, kesesuaian estetika dan fungsi, serta jadwal pekerjaan yang tepat waktu.
Pekerjaan konstruksi yang terencana diharapkan mampu mencegah potensi terjadinya kesalahan fatal, pengulangan pekerjaan, dan akhirnya menghindarkan pemugaran pekerjaan yang sudah terlaksana. Lumrah dimengerti, bahwa bangunan rumah adalah kategori produk bikinan tangan (hand made product), dikerjakan manual, bukan pabrikan yang terstandarisasi. Ditambah pula tidak setiap konsumen mengerti cara pengerjaan bangunan yang item materialnya berjumlah ratusan, karena itu mutlak dibutuhkan pengawasan yang ketat dan terukur sejak tahap perencanaan.
Standar kualitas sudah barang tentu dipengaruhi harga. Istilahnya, harga tak pernah bohong. Pemahaman ini terasa masuk akal jika yang dimaksud harga sebanding kualitas itu melekat pada barang yang sudah wujud kebendaanya, bisa diteliti dan diuji langsung. Masalahanya, membeli rumah siap bangun acuannya hanya gambar dan rencana bangun developer. Padahal, standar kualitas jelas tak bisa diduga-duga, sekedar dibayangakan, sekedar diceritakan lisan. Dokumen kerja yang terinci diperlukan untuk memastikan apa yang ada di gambar benar terealisasi.
Kokoh, presisi menurut perhitungan teknis struktur, dan material mahal saja tidak cukup di pekerjaan konstruksi. Bangunan rumah adalah representasi taste, gengsi, simbol, bahkan bahkan cermin pribadi pemiliknya. Bangunan kokoh yang kaku, tegak lurus tanpa ornamen, menonjolkan kekuatan struktur saja, jauh dari kesan menarik. Pilar-pilar besar yang dominan, balok melintang yang tidak kompak dan mengahalangi pandangan, jauh dari definisi indah. Bangunan berkualitas idealnya mencakup fungsi, kelayakan struktur, dan indah yang memadu-ritmis.
Lamanya waktu pengerjaan, sudah bukan rahasia lagi merupakan hal yang paling sering dilanggar developer dari jadwal yang telah ditetapkan. Dari sudut pandang biaya, tepat waktu pengerjaan konstruksi sebanding dengan efisiensi biaya. Molor berarti bengkak. Makin molor suatu pekerjaan konstruksi, otomastis berakibat bengkaknya biaya. Jika manajemen konstruksi disiapkan secara runtut tahapan pekerjaannya, efektif mobilisasi tenaga kerjanya, niscaya juga efisien biayanya.
Vitalnya aspek konstruksi, masa depan developer dalam merentang zaman dipertaruhkan. Ia dapat menentukan life time developer, panjang jika mampu membuat konsumen marem, terpuaskan. Janji berujung bukti. Ia pun bisa menjadi sumber kemalangan developer karena banyaknya komplain fatal dibanyak item pekerjaan dari konsumen. Batal untung akibat bengkak biaya, kualitas konstruksi yang buruk, tentu saja mengecewakan konsumen. Bukankah yang demikian ini kabar buruk bagi pasar konsumen baru di masa depan..?
(Ditulis oleh: Habib As'ad,29 jan 2012. dikutip dari :http://propertytoday.co.id/mengenal-seluk-beluk-konstruksi.html#sthash.FxZLzicT.dpuf)
Kebanyakan developer, meski tidak semuanya, hakekatnya berjualan gambar, menjual rencana bangun rumah. Yang tampak indah baru gambarnya, belum wujud asli bangunanannya. Sangat mungkin konsumen terpukau karena kemampuan promosi, dukungan media yang meluas, kemudahan cara bayar, atau karena program diskon yang memikat. Menjual produk berupa rumah dengan promosi yang gencar faktanya memang relatif gampang, tak rumit-rumit amat. Apalagi jika tenaga marketingnya pandai membujuk, meyakinkan, dan menggiring kosnsumen untuk bertransaksi.Prestasi menjual bagi developer barulah cerita permulaan. Rentang waktu 6 bulan sejak transaksi sampai serah terima bangunan, dianggap jeda waktu paling menentukan ending sebuah transaski. Berakhir baik sama senang atau berbuah petaka, justru.
Saya mencatat, setidaknya di Yogyakarta, bukan developer yang pintar berjualan yang masih bertahan hingga kini, justru mereka yang memperhatikan kualitas konstruksilah yang tetap diterima pasar, sekalipun dari sisi program marketingnya terhitung biasa-biasa saja. Perumahan Taman Kuantan di jl. Magelang km 07, Yogyakarta, salah satu contohnya. Diduga, kualitas bangunan rumah mereka yang berkategori baik, ber-efek positif pula bagi developernya.
Sebagai perbandingan, Konsumen, khususnya yang KPR, jika urusannya menyangkut legalitas nyata terlindungi karena faktor kontrol perbankan terhadap developer, sementara di urusan konstruksi konsumen face-to-face dengan developer tanpa ada kontrol dari pihak eksternal. Amat jarang ada kasus bank kecolongan soal legalitas yang buntutnya merugikan konsumen. Bisa dikatakan hampir mustahil bank mau membiayai KPR jika legalitasnya belum komplit, clear. Nah, di urusan kontruksi, sekalipun konsumen mengikatkan diri dalam Perjanjian Jual-beli yang detail aspek konstruksinya, tetap saja konsumen harus menunggu berbulan sampai bangunan rumah tersebut benar-benar terwujud. Pada ada titik inilah rawan terjadi kesalahan bahkan penyimpangan.
Kualitas bangunan rumah, berkaca dari pengalaman developer kampiun dan establish dari masa ke masa, tidak saja dipengaruhi faktor penggunaan mutu bahan material saja; keramik berkelas mahal, kayu rangka pilihan, genteng berglasur, kusen dan daun pintu jati, melainkan ditentukan pula faktor pekerjaan yang terencana, standart kualitas, kesesuaian estetika dan fungsi, serta jadwal pekerjaan yang tepat waktu.
Pekerjaan konstruksi yang terencana diharapkan mampu mencegah potensi terjadinya kesalahan fatal, pengulangan pekerjaan, dan akhirnya menghindarkan pemugaran pekerjaan yang sudah terlaksana. Lumrah dimengerti, bahwa bangunan rumah adalah kategori produk bikinan tangan (hand made product), dikerjakan manual, bukan pabrikan yang terstandarisasi. Ditambah pula tidak setiap konsumen mengerti cara pengerjaan bangunan yang item materialnya berjumlah ratusan, karena itu mutlak dibutuhkan pengawasan yang ketat dan terukur sejak tahap perencanaan.
Standar kualitas sudah barang tentu dipengaruhi harga. Istilahnya, harga tak pernah bohong. Pemahaman ini terasa masuk akal jika yang dimaksud harga sebanding kualitas itu melekat pada barang yang sudah wujud kebendaanya, bisa diteliti dan diuji langsung. Masalahanya, membeli rumah siap bangun acuannya hanya gambar dan rencana bangun developer. Padahal, standar kualitas jelas tak bisa diduga-duga, sekedar dibayangakan, sekedar diceritakan lisan. Dokumen kerja yang terinci diperlukan untuk memastikan apa yang ada di gambar benar terealisasi.
Kokoh, presisi menurut perhitungan teknis struktur, dan material mahal saja tidak cukup di pekerjaan konstruksi. Bangunan rumah adalah representasi taste, gengsi, simbol, bahkan bahkan cermin pribadi pemiliknya. Bangunan kokoh yang kaku, tegak lurus tanpa ornamen, menonjolkan kekuatan struktur saja, jauh dari kesan menarik. Pilar-pilar besar yang dominan, balok melintang yang tidak kompak dan mengahalangi pandangan, jauh dari definisi indah. Bangunan berkualitas idealnya mencakup fungsi, kelayakan struktur, dan indah yang memadu-ritmis.
Lamanya waktu pengerjaan, sudah bukan rahasia lagi merupakan hal yang paling sering dilanggar developer dari jadwal yang telah ditetapkan. Dari sudut pandang biaya, tepat waktu pengerjaan konstruksi sebanding dengan efisiensi biaya. Molor berarti bengkak. Makin molor suatu pekerjaan konstruksi, otomastis berakibat bengkaknya biaya. Jika manajemen konstruksi disiapkan secara runtut tahapan pekerjaannya, efektif mobilisasi tenaga kerjanya, niscaya juga efisien biayanya.
Vitalnya aspek konstruksi, masa depan developer dalam merentang zaman dipertaruhkan. Ia dapat menentukan life time developer, panjang jika mampu membuat konsumen marem, terpuaskan. Janji berujung bukti. Ia pun bisa menjadi sumber kemalangan developer karena banyaknya komplain fatal dibanyak item pekerjaan dari konsumen. Batal untung akibat bengkak biaya, kualitas konstruksi yang buruk, tentu saja mengecewakan konsumen. Bukankah yang demikian ini kabar buruk bagi pasar konsumen baru di masa depan..?
(Ditulis oleh: Habib As'ad,29 jan 2012. dikutip dari :http://propertytoday.co.id/mengenal-seluk-beluk-konstruksi.html#sthash.FxZLzicT.dpuf)