Setidaknya gagasan membangun perumahan Islami atau hunian Islami telah muncul pada tahun 2000-an seiring dengan berkembangnya sistem ekonomi Syari’ah yang terjelma dalam bentuk lembaga keuangan Syari’ah. Sebenarnya bukan hanya hunian Syari’ah, hotel-hotel Syari’ah juga mulai muncul.
Demikian pula halnya dengan bisnis ril Syari’ah. Fenomena ini bisa dibaca dalam dua bentuk. Pertama, tidak lebih dari sekedar trend dan implikasi dari boming ekonomi Syari’ah. Kedua, kecenderungan yang muncul karena didorong oleh kesadaran untuk berislam secara kaffah. Apapun alasannya, hunian Islami tidak lagi menjadi wacana tetapi sudah menjadi fenomena.
Sebagian orang melihat perumahan Islami tampak pada lingkungannya yang menonjolkan ghirah Islam. Bukan saja di komplek perumahan tersebut terdapat masjid atau mushalla, Taman Pendidikan Alquran, tetapi juga maraknya majlis-majlis Ta’lim. Kalau ada kolam renang, maka di kolam tersebut tidak boleh bercampur antara laki-laki dan perempuan. Harus ada pengaturan waktu.
Definisi substantif tentang hunian Islami adalah, perumahan yang tidak ekslusif, - non muslim juga dibolehkan tinggal sepanjang mereka tidak membuat kebaktian di rumahnya dan tidak pula memelihara anjing. Di samping itu, perumahan Islami adalah perumahan yang nilai-nilai Islam tegak di dalamnya. Setidak-tidaknya, di sana tidak ada peredaran narkoba, tidak ada pula seks bebas dan segala macam kemaksiatan terselubung lainnya.
Tidak kalah menariknya adalah, perumahan Islami ditinjau dari sisi arsitekturnya. Konsep perumahan Islami itu adalah from follow function yang artinya bentuk mengikuti fungsi. Penataan hunian Islami itu fokus pada fungsi rumah dalam kehidupan. Ia tidak larut terhadap perkembangan seni arsitektur modern apa lagi yang bernuansa Barat. Tidak berarti perumahan Islami berkiblat kepada arsitektur Timur Tengah.
Menurut penulis adalah penting untuk membedakan “rumah fisik”, “rumah rohani” dan “rumah sosial”. Konsep Islami harus mengacu kepada tiga sisi ini. Rumah fisik adalah bangunan rumah itu sendiri yang sejatinya mencerminkan tegaknya nilai-nilai syari’ah Islam. WC yang tidak boleh menghadap kiblat, penataan ruang yang menjaga “aurat” penghuninya tetap penting diperhatikan. Tidak berarti mewah, tidak pula cukup sangat sederhana. Saya menyebutnya rumah yang wajar bagi penghuninya.
Adapun rumah ruhani adalah rumah yang dapat memenuhi kebutuhan ruhani (spiritual) penghuninya. Itulah rumah yang darinya memancar kasih sayang antar sesama penghuni rumah. Di dalamnya hanya ada kedamaian, ketenteraman, saling menghargai dan lebih penting dari itu saling mengembangkan potensi. Rumah ruhani adalah rumah yang tidak membuat penghuninya menjadi tertindas terlebih lagi tersiksa. Di sinilah arti ungkapan yang cukup populer di dalam agama, baiti jannati (rumahku adalah surgaku). Rumah yang menghantarkan penghuninya semakin dekat kepada Allah SWT.
Terakhir adalah rumah sosial. Dalam pemahaman saya, rumah sosial adalah rumah yang memberi kemaslahatan bagi orang-orang yang berada disekitarnya. Rumah yang siapa saja yang datang dalam keadaan haus kembali dalam keadaan nyaman tanpa dahaga. Rumah yang siapa saja berkunjung dalam keadaan lapar, kembali dalam keadaan kenyang. Rumah yang siapa saja datang dengan air mata, kembali dengan kondisi tersenyum. Rumah yang dirindukan karena suasana hangat terbangun di dalamnya. Bahkan lebih jauh dari itu, rumah sosial adalah rumah yang menginspirasi siapa saja yang berkunjung ke rumah tersebut.
Selanjutnya, menurut saya, perumahan atau hunian Islami yang dihuni kelas menengah atas mensyaratkan kepedulian sosial yang tinggi. Perumahan Islami kehadirannya harus memberi manfaat bagi orang-orang yang berada disekitarnya. Itulah rumah yang memberi manfa’at bagi lingkungannya. Jika di komplek perumahan Islami tersedia Masjid, tidak kalah pentingnya di dalamnya juga ada Bait Al-Mal wa Tamwil (BMT) yang dapat memberdayakan ekonomi orang-orang lemah. Di dalamnya juga terdapat pelayanan kesehatan gratis bagi orang yang tak mampu juga fasilitas pendidikan.
Sejatinya, bicara konsep perumahan Syari’ah, menurut penulis ada dua hal penting yang tak boleh diabaikan. Pertama, Hunian Islami tidak mesti ekslusif. Setiap muslim sejatinya harus membuktikan dirinya bahwa ia bisa bertetangga dengan siapa saja. Tanpa harus membedakan suku, agama dan ras. Ia mampu menunjukkan Islam yang rahmatan li al-‘alamin.
Rumahnya harus memancarkan teladan bagi tetangganya yang plural. Kendati demikian, jika ada orang muslim yang merasa nyaman tinggal dilingkungan orang Islam, tentu tidak ada yang melarangnya. Kedua, perumahan itu harus mencerminkan keberpihakan kepada alam. Mungkin inilah yang dimaksud dengan perumahan yang ramah lingkungan. Sederhana saja, perumahan Islami tidak akan pernah keberadaannya menyebabkan banjir dihilirnya. Di samping itu, kehadirannya tidak pula merusak ekosistem disekitarnya.
(Dikutip dari tulisan Azhari Akmal Tarigan dari http://www.waspadamedan.com; Penulis adalah Ketua Prodi Ekonomi Islam Fak. Syari’ah IAIN.SU dan Koordinator Tim Penulis Tafsir Al-Qur’an Karya Ulama Tiga Serangkai.)
Demikian pula halnya dengan bisnis ril Syari’ah. Fenomena ini bisa dibaca dalam dua bentuk. Pertama, tidak lebih dari sekedar trend dan implikasi dari boming ekonomi Syari’ah. Kedua, kecenderungan yang muncul karena didorong oleh kesadaran untuk berislam secara kaffah. Apapun alasannya, hunian Islami tidak lagi menjadi wacana tetapi sudah menjadi fenomena.
Sebagian orang melihat perumahan Islami tampak pada lingkungannya yang menonjolkan ghirah Islam. Bukan saja di komplek perumahan tersebut terdapat masjid atau mushalla, Taman Pendidikan Alquran, tetapi juga maraknya majlis-majlis Ta’lim. Kalau ada kolam renang, maka di kolam tersebut tidak boleh bercampur antara laki-laki dan perempuan. Harus ada pengaturan waktu.
Definisi substantif tentang hunian Islami adalah, perumahan yang tidak ekslusif, - non muslim juga dibolehkan tinggal sepanjang mereka tidak membuat kebaktian di rumahnya dan tidak pula memelihara anjing. Di samping itu, perumahan Islami adalah perumahan yang nilai-nilai Islam tegak di dalamnya. Setidak-tidaknya, di sana tidak ada peredaran narkoba, tidak ada pula seks bebas dan segala macam kemaksiatan terselubung lainnya.
Tidak kalah menariknya adalah, perumahan Islami ditinjau dari sisi arsitekturnya. Konsep perumahan Islami itu adalah from follow function yang artinya bentuk mengikuti fungsi. Penataan hunian Islami itu fokus pada fungsi rumah dalam kehidupan. Ia tidak larut terhadap perkembangan seni arsitektur modern apa lagi yang bernuansa Barat. Tidak berarti perumahan Islami berkiblat kepada arsitektur Timur Tengah.
Menurut penulis adalah penting untuk membedakan “rumah fisik”, “rumah rohani” dan “rumah sosial”. Konsep Islami harus mengacu kepada tiga sisi ini. Rumah fisik adalah bangunan rumah itu sendiri yang sejatinya mencerminkan tegaknya nilai-nilai syari’ah Islam. WC yang tidak boleh menghadap kiblat, penataan ruang yang menjaga “aurat” penghuninya tetap penting diperhatikan. Tidak berarti mewah, tidak pula cukup sangat sederhana. Saya menyebutnya rumah yang wajar bagi penghuninya.
Adapun rumah ruhani adalah rumah yang dapat memenuhi kebutuhan ruhani (spiritual) penghuninya. Itulah rumah yang darinya memancar kasih sayang antar sesama penghuni rumah. Di dalamnya hanya ada kedamaian, ketenteraman, saling menghargai dan lebih penting dari itu saling mengembangkan potensi. Rumah ruhani adalah rumah yang tidak membuat penghuninya menjadi tertindas terlebih lagi tersiksa. Di sinilah arti ungkapan yang cukup populer di dalam agama, baiti jannati (rumahku adalah surgaku). Rumah yang menghantarkan penghuninya semakin dekat kepada Allah SWT.
Terakhir adalah rumah sosial. Dalam pemahaman saya, rumah sosial adalah rumah yang memberi kemaslahatan bagi orang-orang yang berada disekitarnya. Rumah yang siapa saja yang datang dalam keadaan haus kembali dalam keadaan nyaman tanpa dahaga. Rumah yang siapa saja berkunjung dalam keadaan lapar, kembali dalam keadaan kenyang. Rumah yang siapa saja datang dengan air mata, kembali dengan kondisi tersenyum. Rumah yang dirindukan karena suasana hangat terbangun di dalamnya. Bahkan lebih jauh dari itu, rumah sosial adalah rumah yang menginspirasi siapa saja yang berkunjung ke rumah tersebut.
Selanjutnya, menurut saya, perumahan atau hunian Islami yang dihuni kelas menengah atas mensyaratkan kepedulian sosial yang tinggi. Perumahan Islami kehadirannya harus memberi manfaat bagi orang-orang yang berada disekitarnya. Itulah rumah yang memberi manfa’at bagi lingkungannya. Jika di komplek perumahan Islami tersedia Masjid, tidak kalah pentingnya di dalamnya juga ada Bait Al-Mal wa Tamwil (BMT) yang dapat memberdayakan ekonomi orang-orang lemah. Di dalamnya juga terdapat pelayanan kesehatan gratis bagi orang yang tak mampu juga fasilitas pendidikan.
Sejatinya, bicara konsep perumahan Syari’ah, menurut penulis ada dua hal penting yang tak boleh diabaikan. Pertama, Hunian Islami tidak mesti ekslusif. Setiap muslim sejatinya harus membuktikan dirinya bahwa ia bisa bertetangga dengan siapa saja. Tanpa harus membedakan suku, agama dan ras. Ia mampu menunjukkan Islam yang rahmatan li al-‘alamin.
Rumahnya harus memancarkan teladan bagi tetangganya yang plural. Kendati demikian, jika ada orang muslim yang merasa nyaman tinggal dilingkungan orang Islam, tentu tidak ada yang melarangnya. Kedua, perumahan itu harus mencerminkan keberpihakan kepada alam. Mungkin inilah yang dimaksud dengan perumahan yang ramah lingkungan. Sederhana saja, perumahan Islami tidak akan pernah keberadaannya menyebabkan banjir dihilirnya. Di samping itu, kehadirannya tidak pula merusak ekosistem disekitarnya.
(Dikutip dari tulisan Azhari Akmal Tarigan dari http://www.waspadamedan.com; Penulis adalah Ketua Prodi Ekonomi Islam Fak. Syari’ah IAIN.SU dan Koordinator Tim Penulis Tafsir Al-Qur’an Karya Ulama Tiga Serangkai.)